Entri Populer

Selasa, 10 Januari 2012

Hasil budaya yang berkaitan tentang Manusia dan Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang di namakan hak.Tanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat penting dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,karena tanpa tanggung jawab,maka semuanya akan menjadi kacau.Contohnya saja adalah jika seorang ayah tidak melakukan tanggung jawabnya mencari nafkah,maka keluarganya akan sengsara. Bagaimanapun juga tanggung jawab menjadi nomor satu di dalam kehidupan seseorang.Dengan kita bertanggung jawab,kita akan dipercaya orang lain,selalu tepat melaksanakan sesuatu,mendapatkan hak dengan wajarnya. Seringkali orang tidak melakukan tanggung jawabnya,mungkin di sebabkan oleh hal hal yang membuat orang itu lebih memilih melakukan hal di luar tanggung jawabnya.Sebagai contohnya,seorang pelajar mempunyai tanggung jawab belajar,sekolah,tapi karena ada game/ajakan teman yang tidak baik untuk bolos sekolah,maka seorang anak itu bisa saja melalaikan tanggung jawabnya untuk bermain/bolos sekolah. Jika kita melalaikan tanggung jawab,maka kualitas dari diri kita mungkin akan rendah.Maka itu,tanggung jawab adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan,karena tanggung jawab menyangkut orang lain dan terlebih diri kita.(http://id.shvoong.com/books/1773765-tanggung-jawab/#ixzz1ijFtJBNV)

Hasil budaya yang berkaitan tentang Manusia dan Kegelisahan

kerispatih- demi cinta

Maaf, ku telah menyakitimu
Ku telah kecewakanmu
Bahkan ku sia – siakan hidupku,
dan kubawa kau s’perti diriku
Walau hati ini t’rus menangis
Menahan kesakitan ini
Tapi ku lakukan semua demi cinta
Akhirnya juga harus ku relakan kehilangan cinta sejatiku
Segalanya t’lah ku berikan
Juga semua kekuranganku
Jika memang ini yang terbaik
Untuk diriku dan dirinya
Kan ku t’rima semua demi cinta
Reff :
Jujur, aku tak kuasa, saat terakhir ku genggam tanganmu
Namun yang pasti terjadi, kita mungkin tak bersama lagi
Bila nanti esok hari
Ku temukan dirimu bahagia
Ijinkan aku titipkan kisah cinta kita selamanya


gudanglagu.com 

manusia dan kegelisahan



Makna Kesepian



Kesepian berasal dari kata sepi yang berarti sunyi atau lengang, sehingga kata kesepian berarti merasa sunyi atau lengang, tidak berteman. Setiap orang pernah mengalami kesepian, karena kesepian bagian hidup manusia. Lama rasa sepi itu bergangung pada mental orang dan kasus penyebabnya. Bermacam sebab terjadinya kesepian, frustasi dapat mengakibatkan kesepian. Jadi kesepian  itu akibat dari keterasingan.Keterasingan akibat sikap sombong, angkuh, kaku, keras kepala, sehingga dijauhi teman-teman sepergaulannya.(https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:BPGYq7hlWwUJ:journal.mercubuana.ac.id/data/bhn-IBD-9.doc+makna+keterasingan&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShxwcPVMLdRKNBb8_bY1vucc4SC9OhepQks8GEGiaG4fyBsggThvKJHvH2oerj0TcCdCRgH27NnSWZp3z9rvj0czZwkNKqEsxS1iZyzZ4SoIkvfI8i-5lJSq9wh0SQzBWdtZPFC&sig=AHIEtbRWPNcUqt3yMij0k4PPXCf8dg8Amw)

manusia dan kegelisahan

makna Ketidakpastian


Ketidak pastian berasal dari kata tidak pasti artinya tidak  menentu, tidak dapat ditentukan, tidak tahu, tanpa arah yang jelas, tanpa asal-usul yang jelas. Ketidak pastian artinya keadaan yang pasti, tidak tentu, tidak dapat ditentukan, tidak tahu, keadaan tanpa arah yang jelas, keadaan tanpa asal-usul yang jelas itu semua adalah akibat pikirannya tidak konsentrasi. Ketidak konsentrasian disebabkan oleh berbagai sebab, yang jelas pikirannya kacau. Beberapa sebab orang tak dapat berpikir dengan tidak pasti ialah :
  1. obsesi
  2. phobia
  3. kompulasi
  4. hysteria
  5. delusi
  6. halusinasi
  7. keadaan emosi
Untuk dapat menyembuhkan keadaan itu bergantung pada mental si penderita. Andaikata penyebabnya sudah diketahui, kemungkinan juga tidak dapat sembuh. Bila hal itu terjadi, maka jalan yang paling baik bagi penderita diajak pergi sendiri ke psikolog.(https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:BPGYq7hlWwUJ:journal.mercubuana.ac.id/data/bhn-IBD-9.doc+makna+keterasingan&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEEShxwcPVMLdRKNBb8_bY1vucc4SC9OhepQks8GEGiaG4fyBsggThvKJHvH2oerj0TcCdCRgH27NnSWZp3z9rvj0czZwkNKqEsxS1iZyzZ4SoIkvfI8i-5lJSq9wh0SQzBWdtZPFC&sig=AHIEtbRWPNcUqt3yMij0k4PPXCf8dg8Amw)

manisia dan tangung jawab



Makna Pengabdian

Bagi penikmat sejarah jepang, kisah 47 Ronin bukanlah hal yang asing. Inti kisah ini jelas, namun detilnya yang kabur menjadi inspirasi tersendiri untuk menjalin cerita ini dari berbagai sudut pandang. Karya John Allyn merupakan salah satu alternatif jalinan kisah ini dengan menonjolkan interaksi para karakter dan benturan-benturan yang mereka temui dalam mencapai misiny

Manusia dan Tanggung Jawab

Makna Pengorbanan
Setiap setahun sekali umat Islam diingatkan akan makna pengorbanan lewat Hari Raya Idul Adha. Pengorbanan itu sendiri adalah sesuatu yang universal. Maksudnya, semua manusia maklum bahwa untuk mencapai sesuatu yang “lebih”, dibutuhkan pengorbanan; apa pun bentuknya. Bahkan untuk hal –hal yang buruk, dibutuhkan upaya “lebih” untuk mendapatkan “lebih”; no pain no gain, kata orang Bugis.
Idul Adha itu sendiri mempunyai rujukan historis, yaitu peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Apakah peristiwa itu pengorbanan terhebat dalam sejarah sehingga menjadi rujukan? Mungkin iya. Salah satu faktornya adalah bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail; dua-duanya pelaku pengorbanan, meski secara lahiriah Nabi Ismail lah yang dikorbankan. Bukan sembarang orang yang mampu melakukan apa yang telah mereka lakukan. Keteguhan Nabi Ibrahim dan ketulusan Nabi Ismail.
www.sights-and-culture.com
Menarik untuk melihat pendapat seorang filsuf, Soren Kierkegaard, tentang peristiwa ini. Baginya, gaya kehidupan beragama berbeda dari gaya kehidupan estetik dan etik. Hal ini bisa dilihat dari peristiwa penyembelihan Nabi Ismail tersebut. Apa yang estetik dari sebuah peristiwa yang lebih mirip pembantaian daripada sebentuk ibadah? Dan peristiwa itu juga jauh dari nilai etik. Etika mana yang mengizinkan seorang ayah menyembelih anaknya; anak yang bahkan belum berusia lima tahun? 
Al-Quran sendiri tidak jarang bercerita kisah yang mempunyai pola mirip seperti ini. Kita tentu tidak lupa kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr. Nabi Khidr juga diceritakan membunuh seorang anak karena khawatir di masa depan anak itu akan membuat kafir kedua orang tuanya yang saleh—dalam kisah Nabi Khidr, anak itu tidak diganti dengan domba.
Baik Nabi Ibrahim maupun Nabi Khidr sama-sama menunjuk Tuhan sebagai sebab yang berada di balik tindakan mereka yang tidak estetik dan etik. Mungkin karena Tuhan berada di atas ukuran estetik dan etik itu. Atau mungkin hubungan dengan Tuhan sering adalah sesuatu yang sangat pribadi sehingga pengalaman kita bukan ukuran bagi orang lain, demikian pula orang lain tidak bisa menjadi ukuran kita. Lalu akan menjadi aneh jika ada yang mengklaim kebenaran pribadinya untuk menjadi ukuran bagi kebenaran orang lain.
Kembali kepada pengorbanan. Ismail tentu adalah sesuatu yang sangat penting bagi Ibrahim. Mangorbankannya berarti menghilangkan bagian penting itu. Di situlah sebuah pengorbanan menjadi semakin bermakna jika yang dikorbankan semakin penting atau bahkan tidak tergantikan. Ismail tidak tergantikan bagi Ibrahim. Relakah kita mengorbankan sesuatu yang sangat penting dan tidak tergantikan? Jika pengorbanan kita sebatas memberikan pakaian bekas, maka itu bukan pengorbanan akan sesuatu yang tidak tergantikan.(http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=275:pengorbanan-ibrahim&catid=92:temporer&Itemid=280)


keadilan dan penderitaan

Kasus Nikah Siri: Berujung Pada Penderitaan Perempuan

KETIKA soal nikah siri dipolemikkan dalam kaitan Rencana Undang-undang Peradilan Agama, wartawan Harian Warta Kota rupanya segera teringat kepada Haji Rhoma Irama. Tak lain karena penyanyi dangdut yang berdakwah lewat lagu itu pernah melakukan pernikahan siri setidaknya satu kali, dengan artis Angel Lelga. Waktu itu sempat ada kehebohan karena sang raja dangdut itu didapati bertamu lewat tengah malam ke ‘apartemen’ Angel. Tapi reda, setelah Rhoma mengumumkan telah menikah siri dengan sang artis. Namun tak berapa lama, pernikahan siri pasangan yang usianya berbeda jauh itu, berakhir dengan perpisahan.

Koran ibukota itu mengutip komentar Rhoma Irama, “Menurut pandangan saya, orang-orang yang membuat aturan-aturan ancaman hukum bagi orang yang menikah atau kawin siri itu adalah orang-orang yang atheis”. Atheis? Orang-orang Kementerian Agama yang ikut menyusun RUU itu, tidak ber-Tuhan dong –sesuai pengertian terminologi atheis itu. Rhoma memperjelas maksudnya dalam menggunakan istilah atheis, “Bukan tidak beragama, tetapi tidak memihak dan tidak memahami agama”.
Pada kutub pendapat yang berbeda, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Nazaruddin Umar, dikutip detikNews (Selasa, 16 Februari), latar belakang pengajuan RUU tentang Hukum Materil Peradilan Agama yang antara lain memuat ketentuan pemidanaan bagi pelaku nikah siri dan nikah kontrak, adalah masalah kemanusiaan. Banyak orang yang memilih memilih menikah siri maupun nikah kontrak dengan dalih lebih baik begitu daripada zina. “Alasan menghindarkan dosa zina justru bisa menimbulkan dosa lainnya seperti penelantaran pasangan dan anak”. Menurut sang Dirjen –yang tentunya sangat memahami agama Islam– kasus meninggalkan pasangan begitu saja setelah pernikahan yang dicatatkan secara resmi sangat jarang dibandingkan nikah siri atau nikah kontrak. Satu banding seribu. Anak-anak hasil pernikahan resmi yang dicatat KUA, lebih mudah mendapatkan hak-haknya seperti warisan, hak perwalian, dalam pembuatan KTP, paspor serta tunjangan kesehatan dan sebagainya.
Ketua Umum PB Nahdatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, dengan alasan sedikit berbeda juga menolak pemidanaan pelaku pernikahan siri. Tetapi ia tidak keberatan bila dilakukan sanksi administratif. “Tidak logis pelaku nikah siri dihukum, sebab pada waktu yang sama, perzinaan, free sex, dan kumpul kebo dianggap bagian dari hak azasi manusia karena suka sama suka”. Dalam Islam, pada nikah siri itu sudah ada wali dan dua saksi. “Secara legal syariah sudah sah, tapi belum lengkap. Rasulullah memerintahkan akad nikah tersebut diumumkan dan diresepsikan,walimah, sekalipun perintah itu sunah, bukan wajib”. Apakah sunah Nabi itu tidak sederajat dengan makna pencatatan pada masa sekarang, mengingat bahwa pada masa itu belum ada budaya tulis menulis di tanah Arab? Sedang istilah siri itu sendiri, menurut Prof Dr Syamsul Arifin dari Universitas Muhammadiyah Malang, berasal dari kata Arab yakni sir yang berarti ‘diam-diam’ yang berlawanan hakekat dengan walimah yang diperintahkan Nabi.
Dengan bahasa hukum yang lebih tegas, mantan Hakim Agung, Dr Laica Marzuki SH, yang juga adalah pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, menyatakan sepantasnyalah pelaku nikah siri dipidanakan. Nikah siri selalu berujung pada penderitaan pada pihak perempuan. Nikah siri “mengorbankan anak-anak perempuan kita”. Pemidanaan pelakunya “tidak menyalahi aturan agama”. Meski berbeda pandangan mengenai pemidanaan, Prof Dr Syamsul Arifin (Kompas, 20 Februari), “Hal terpenting yang harus dipahami adalah tujuan keterlibatan negara dalam hukum perkawinan adalah untuk kepastian hukum yang bemanfaat meningkatkan jaminan hak hukum terhadap pasangan nikah dan anak yang dihasilkannya”. Selama ini nikah siri yang dibolehkan oleh agama dimanfaatkan sebagai modus poligami. Nikah siri di masyarakat terkait dengan praktik nikah kontrak atau nikah mu’tah. Nikah jenis yang disebut terakhir ini adalah tindakan seorang lelaki menikahkan diri sendiri. KH MN Iskandar SQ pernah melakukannya atas seorang perempuan janda yang almarhum suaminya adalah salah seorang tokoh dalam Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. Pernikahan itu menjadi sorotan publik, tapi sejumlah tokoh agama tidak mempersalahkannya.
Silang sengketa mengenai RUU Peradilan Agama yang antara lain menyangkut pemidanaan nikah siri, seakan mengulangi situasi pro kontra di tahun 1973 saat RUU Perkawinan dibahas di DPR-RI.
Bersamaan dengan berbagai gerakan mahasiswa menentang korupsi dan menuntut keadilan sosial, pada bulan September dan Oktober tahun 1973 itu sebenarnya marak juga demonstrasi pemuda-pemudi Islam menentang RUU Perkawinan di berbagai daerah dan terutama sekali di Jakarta sendiri. Bagi sebagian umat Islam muncul anggapan, seperti yang dinyatakan Professor Dr HM Rasyidi dalam Harian Abadi, bahwa RUU itu mengandung tak kurang dari 7 pasal yang merupakan “Kristenisasi dalam selubung”. Dalam bahasa yang lebih terang lagi, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan Amin Iskandar menyebutkan “RUU Perkawinan yang sekarang ini hanyalah terjemahan dari peraturan yang berlaku untuk perkawinan orang-orang Kristen”. Dikaitkannya retorika Kristenisasi dalam masalah ini juga terpicu oleh isu bahwa RUU ini diluncurkan atas desakan kuat Ibu Negara Siti Suhartinah Soeharto yang menurut isu itu adalah seorang penganut agama bukan Islam. (Beberapa tahun kemudian, Ibu Negara turut serta bersama Presiden Soeharto menunaikan Ibadah Haji).
Tetapi sebenarnya polarisasi Islam versus Kristen dalam soal RUU ini tidak seluruhnya dapat dianggap benar, karena dalam polemik mengenai beberapa pasal, kerap pula terjadi perbedaan di antara sesama umat. Misalnya saja, antara kelompok Islam yang dinilai ‘fundamental’ dengan kelompok Islam yang dianggap menghendaki ‘pembaharuan sosial’ di kalangan umat. Ini terlihat misalnya dalam perbedaan pendapat mengenai Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Sedang ayat (2) mengatur bahwa bilamana toh ada yang menginginkan beristeri lebih dari satu ia harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari isteri sahnya yang sudah ada. Mereka yang menentang pasal ini mengatakan bahwa Islam memperbolehkan seorang pria Muslim memiliki sampai 4 orang isteri. Dan untuk beristeri lagi seorang laki-laki tidak perlu meminta izin isteri yang ada. Sedang mereka yang ingin pembaharuan sosial di kalangan umat, tidak keberatan dengan pembatasan dalam hal beristeri lebih dari satu. Toh pada hakekatnya tidak melarang, melainkan hanya memperketat persyaratan dengan memasukkan faktor persetujuan isteri yang sudah ada. Selain itu, tak sedikit pula kaum perempuan yang menganut Islam, menyetujui pasal yang menjanjikan kesetaraan dan perlindungan bagi mereka sebagai isteri dari kesewenang-wenangan yang kerap dipraktekkan oleh sementara kaum lelaki atas nama agama. Akan tetapi perempuan yang pasrah, lebih banyak lagi.
Demonstrasi terbesar dan dapat disebutkan sebagai puncak dalam kaitan ini adalah aksi di DPR yang dikenal sebagai Peristiwa Akhir Sya’ban, pada tanggal 27 September 1973. Penamaan Peristiwa Akhir Syaban adalah karena memang peristiwa itu terjadi tepat di hari terakhir bulan Sya’ban tepat satu hari sebelum memasuki bulan Ramadhan 1393 Hijriah. Demonstrasi yang dilancarkan pemuda-pemudi Islam itu menggemparkan karena sampai saat itu baru pertama kalinya terjadi suatu gerakan ekstra parlementer sedemikian di gedung parlemen. Dalam satu seruan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar” yang bergemuruh, ratusan demonstran berhasil menerobos ke ruang sidang paripurna DPR memenggal jawaban Pemerintah mengenai RUU Perkawinan tepat pada saat Menteri Agama Mukti Ali tiba pada bagian mengenai pertunangan dalam Fasal 13, pada pukul sepuluh lewat 7 menit di hari Kamis 27 September itu. Dan setelah itu hampir selama dua jam ratusan anak muda, termasuk pelajar-pelajar puteri berkebaya panjang dengan kerudung putih, ‘menguasai’ ruang sidang DPR.
Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro menanggapi dengan keras peristiwa ini. “Jangan salah terima kalau dalam situasi bulan puasa pun kita bertindak”, cetusnya. “Mungkin mereka berpikir, ini menghadapi bulan puasa, jadi ABRI akan berpikir-pikir dulu kalau mau bertindak…. Puasa sih puasa. Kita juga memang mikir dua kali. Tapi kalau membahayakan keamanan dan kepentingan negara, kita juga terpaksa bertindak”. Lalu ia berkata lagi, “Yang saya cari, siapa nih yang menggerakkannya”. Soemitro dalam hal ini bertindak sesuai patron penguasa yang lazim waktu itu, yaitu mencari siapa dalang dari suatu peristiwa. Dua tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ishak Moro dan Yusuf Hasyim kontan bereaksi. “Saya yakin mereka bergerak secara spontan”, ujar Yusuf Hasyim. Sedang Moro menggambarkan peristiwa itu adalah letupan dinamika dari sejumlah anak muda yang beragama Islam, yang tidak didalangi.
Ketika demonstrasi anti RUU Perkawinan ini masih berkepanjangan, dan berbarengan dengan itu aksi-aksi mahasiswa mengenai modal asing dan kesenjangan sosial juga mulai terjadi, Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Laut Soedomo angkat bicara. Soedomo memperingatkan bahwa larangan demonstrasi tetap berlaku di Indonesia. Menurut Soedomo, demonstrasi pemuda dan pemudi Islam di DPR 27 September dan “demonstrasi-demonstrasi yang di Bandung” akan diselesaikan secara hukum. Untuk itu di Jakarta telah terjadi penahanan-penahanan, setidaknya ada 13 putera dan 1 orang puteri yang ditahan. Tapi dapat dicatat bahwa di Bandung ada berbagai demonstrasi yang terjadi secara beruntun, baik oleh Angkatan Muda Islam yang menentang RUU Perkawinan maupun oleh para mahasiswa untuk pokok masalah lainnya. Maka saat itu belum terlalu jelas apa dan siapa serta yang mana yang dimaksud Soedomo.
Menghadapi front yang terlalu luas berupa berbagai aksi dengan tema dan sasaran berbeda, Presiden Soeharto kala itu memilih jalan kompromi mengenai RUU Perkawinan. Dalam upaya kompromi antara kalangan kekuasaan dengan kelompok politik Islam, beberapa tokoh HMI menjalankan peranan penengah dengan baik, sehingga kemudian berhasil diperoleh titik temu. Sementara itu, terhadap Fraksi Karya Pembangunan dan DPP Golkar, dilakukan semacam tekanan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang disebutkan berdasarkan perintah Presiden Soeharto. Pimpinan-pimpinan Fraksi Karya Pembangunan dipanggil oleh Pangkopkamtib dan diminta untuk mengubah konsepnya mengenai RUU Perkawinan dan diminta pula mengalah menerima konsep Fraksi Persatuan Pembangunan dan atau PPP yang merupakan gabungan partai politik ideologi Islam eks Pemilihan Umum 1971. Meski kecewa dan merasa ‘dikhianati’ Soeharto, tak ada pilihan lain bagi Fraksi Karya Pembangunan selain mematuhi perintah.
Praktek perkawinan poligami yang menjadi tuntutan para pemimpin partai-partai Islam, dengan demikian diakui dan diterima dalam UU Perkawinan yang berhasil disahkan setelah tercapainya kompromi. Tetapi pada pihak lain, pernikahan dengan mekanisme pencatatan di Kantor Urusan Agama diterima oleh para pemimpin politik Islam kala itu, namun tanpa sanksi pidana bagi yang tidak melakukan pencatatan. Tidak pula ada pengaturan mengenai pelaksanaan pernikahan yang tidak dilakukan melalui Kantor Urusan Agama. Nikah siri –dengan segala eksesnya– pun bisa dilakukan dan tampaknya menjadi pilihan bagi banyak kaum lelaki, terutama bagi mereka yang ingin beristeri lebih dari satu, namun sulit memenuhi syarat UU yang mengharuskan adanya persetujuan isteri pertama dan atau isteri-isteri terdahulu.
Selama hasrat kaum lelaki untuk berpoligami tetap tinggi, tampaknya nikah siri akan tetap menjadi pilihan favorit dan untuk itu akan ada ‘perjuangan keras’ guna mempertahankan kebebasan nikah siri tanpa pemidanaan. Namun terlepas dari itu semua, secara faktual harus diakui bahwa hingga sejauh ini agama maupun sejumlah kebiasaan dalam masyarakat, sejauh ini tetap menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lemah.(http://sociopolitica.wordpress.com/2010/02/20/kasus-nikah-siri-berujung-pada-penderitaan-perempuan/)